Di Indonesia
sendiri ada hukum undang-undang yang mengatur monopoli dan persaingan tidak
sehat yaitu UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT .
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Monopoli
adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha.
2. Praktek
monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha
yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau
jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum.
3. Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang
nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga
dapat menentukan harga barang dan atau jasa.
4. Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha
tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi
diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan
keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
5. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
6. Persaingan
usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan
cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
7. Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih
pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain dengan
nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
8. Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk
kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan
maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
9. Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli
dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan
transaksi perdagangan barang dan atau jasa.
10. Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan
dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang
dan jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa
tersebut.
11. Struktur pasar adalah keadaan pasar yang
memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap
perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar, antara lain jumlah penjual dan
pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi,
dan penguasaan pangsa pasar.
12. Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam kapasitasnya sebagai pemasok atau pembeli barang dan
atau jasa mencapai tujuan perusahaan, antara lain pencapaian laba, pertumbuhan
aset, target penjualan, dan metode persaingan yang digunakan.
13. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau
beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar
bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.
14. Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam
transaksi barang dan atau jasa sesuai kepentingan antara para pihak di pasar
bersangkutan.
15. Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna
barang dan atau jasa sesuai kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan
pihak lain.
16. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun
tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
17. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan
oleh konsumen atau pelaku usaha.
18. Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi
yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya
agar tidak melakukan monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
19. Pengadilan Negeri adalah pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, di tempat kedudukan
hukum usaha pelaku usaha.
ASAS DAN TUJUAN
Pelaku usaha
di Indonesia
dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
pembentukan undang-undang ini adalah untuk:
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah,
dan pelaku usaha kecil;
c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d. terciptanya
efektivitas dan efis iensi dalam kegiatan usaha.
KEGIATAN YANG DILARANG
Bagian Pertama
Monopoli
Pasal 17
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) apabila :
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada
substansinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke
dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Kedua
Monopsoni
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan
pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar
bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai
penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Ketiga
Penguasaan
Pasar
Pasal 19
Pelaku usaha
dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama
pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu
untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha
pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya
itu; atau
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan
atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku
usaha tertentu.
Pasal 20
Pelaku usaha
dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual
rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan
atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
Pasal 21
Pelaku usaha
dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya
yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keempat
Persekongkolan
Pasal 22
Pelaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan
pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.
Pasal 23
Pelaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan
usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24
Pelaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar
barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi
berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan.
SANKSI
Tindakan
Administrasi
Pasal 47
(1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa
tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang
ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat berupa :
a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16 dan atau
b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau
peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28; dan atau
f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00
(dua puluh lima
miliar rupiah).
Pidana Pokok
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9
sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27,
dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam)
bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai
dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26
Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5
(lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41
Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau
pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pidana
Tambahan
Pasal 49
Dengan
menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa :
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti
melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan
direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5
(lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan
atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar