PENGERTIAN
Sengketa adalah Pengertian
sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik,
Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,
kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Jadi, sengketa ekonomi
adalah pertentangan ataupu konfik antar individu dengan individu, individu
dengan kelompok, ataupun kelompok dengan kelompok di dalam bidang ekonomi .
A. SARANA
Sarana yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa di
bidang ekonomi dan keuangan pada dasarnya dapat ditempuh 3 (tiga) cara.
Pertama, negosiasi atau alternative sengketa (ADR); kedua, arbitrase;dan ketiga
melalui lembaga peradilan.
1. NEGOSIASI dan ADR
Negosiasi adalah sarana paling banyak digunakan. Sarana ini
telah dipandang sebagai sarana yang paling efektif. Lebih dari 80% (delapan
puluh persen) sengketa di bidang bisnis tercapai penyelesaiannya melalui cara
ini. Penyelesaiannya tidak win-los tetapi win-win. Karena itu
pula cara penyelesaian melalui cara ini memang dipandang yang memuaskan para
pihak. Menurut hemat penulis, cara penyelesaian sengketa ini sangat cocok untuk
masyarakat bisnis Indonesia.
Mayoritas pengusaha Indonesia
adalah pengusaha kecil dan menengah. Pada umumnya mereka tidak terlalu mereka
pedulikan kontrak dengan seksama. Umumnya kalau mereka menandatangani kontrak,
mereka kurang begitu peduli terhadap bunyi klausul-klausul dalam kontrak. Yang
penting mereka ada transaksi bisnis. Dalam benak mereka, cukuplah bagaimana
melaksanakan transaksi tersebut. Mind-set seperti ini terbawa pula
ketika ternyata kemudian sengketa mengenai kontrak lahir. Mereka kurang peduli
dengan apa yang ada dalam klausul kontrak. Kalau ada sengketa, mereka upayakan
menyelesaikannya secara baik-baik, secara
kekeluargaan.
2. ARBITRASE
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah semakin populer
di kalangan pengusaha. Kontrak-kontrak komersial sudah cukup banyak
mencantumkan klausul arbitrase dalam kontrak mereka. Dewasa ini Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), sudah semakin populer. Badan-badan penyelesaian
sengketa sejenis telah pula lahir. Di antaranya adalah Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI), badan penyelesaian sengketa bisnis, dll.3 Tantangan ke masa
depan adalah tantangan untuk membuktikan masing-masing badan penyelesaian
sengketa ini. Salah satu tolok ukur dari keberhasilan badan-badan penyelesaian
sengketa melalui arbitrase adalah kualitas para arbitratornya. Bagaimana pun
juga, kualitas suatu badan arbitrase akan sangat banyak dipengaruhi oleh
kualitas para arbitratornya.
3. PENGADILAN
Persepsi umum yang lahir dan masih berkembang dalam
masyarakat adalah masih adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap badan
pengadilan.4 Pengusaha atau para pelaku ekonomi dan bisnis, terlebih masyarakat
awam melihat hukum bukan dari produk-produk hukum yang ada atau yang pemerintah
keluarkan. Masyarakat umumnya meljhat pengadilan sebagai hukum. Begitu pula
persepsi mereka terhadap polisi, jaksa, atau pengacara.
Dalam jaman krisis ekonomi yang terus
berkepanjangan ini, masyarakat (begitupun masyarakat internasional) masih
melihat adanya ketidakpastian dalam proses berperkara melalui pengadilan.
Mereka melihat masih cukup banyak kasus nyata di mana putusan pengadilan masih
belum dapat memberi kepastian, rasa keadilan dan sejenisnya.
Ambil contohnya, kasus sendal jepit
bolong, kasus whistle-blower, kasus BLBI, dll. Putusan kasus sendal
jepit bolong dan putusan kasus BLBI sedikit banyak telah mengkerutkan kening
masyarakat. Kok putusan pemakai sandal jepit bolong lebih berat dibanding
dengan putusan terhadap penyalahgunaan dana BLBI yang miliaran rupiah itu. Harga
sepasang sendal jepit bolong paling-paling seharga seribu atau dua ribu perak.
Itu pun kalau mau dihargakan dan ada yang mau beli.
Persepsi masyarakat awam dan pengusaha
terhadap performance pengadilan karenanya perlu ekstra hati-hati
diperhatikan. Memang banyak hakim atau para penegak hukum yang bersih dan
lurus. Tetapi masyarakat lebih tertarik atau akan lebih melihat hakim atau para
penegak hukum yang tidak lurus, neko-neko atau korup. Pengadilan yang bersih
dari orang-orang seperti ini adalah tantangan terberat pengadilan dewasa ini.
Tantangan tidak kalah lainnya adalah
profesionalisme hakim, termasuk di dalamnya tingkat pengetahuan mereka terhadap
perkembangan hukum yang sangat cepat. Ini adalah masalah mutu SDM pengadilan.
Perkembangan pengetahuan sebagai dampak dari perkembangan teknologi, informasi,
ekonomi dan keuangan telah banyak merubah teori-teori hukum yang ada pada tahun
1970 atau 1980an. Misalnya, hukum ekonomi, perbankan dan keuangan tidak
semata-mata lagi mengatur hal-hal atau hubunganhubungan yang bersifat fisik.
Sekarang ada ecommerce, e-banking, dan mungkin bentuk-bentuk electronic
related business activities lainnya yang akan segera menyusul.
Bentuk-bentuk ini pun memberi warna terhadap
sengketa-sengketa yang lahir Dalam beberapa tahun belakangan ini pengadilan
menghadapi kasus-kasus yang relative baru. Sengketa mengenai domain name,
hacking, pelanggaran merek di internet, penipuan atau kejahatan yang
terkait dengan penggunaan internet, seperti penipuan kartu kredit dan
sejenisnya, angka grafiknya bergerak ke atas. Hal ini menjadi indikasi kuat bahwa
pengadilan perlu menyikapinya dengan cara mempersiapkan diri termasuk meningkatkan
pengetahuannya guna mengantisipasi perkembangan yang teramat cepat ini.
Selanjutnya adalah gejolak dan dampak
globalisasi dan liberalisasi ekonomi terhadap hukum nasional. Dalam hal ini
yang menjadi tantangan adalah perlunya pemahaman terhadap hukum bisnis atau
ekonomi internasional. Termasuk di dalamnya pemahaman terhadap berbagai
konvensi atau perjanjian ekonomi, baik yang telah atau belum diratifikasi atau
perjanjian yang tidak memerlukan ratifikasi.
Perlu pula pemahaman terhadap aturan-aturan
kebiasaan internasional yang mengikat para pedagang. Perlu pula pemahaman
mengenai status atau daya mengikat aturan-aturan hukum ini serta daya
mengikatnya aturan-aturan seperti itu terhadap para pedagang (di tanah air).
Adanya pemahaman terhadap hal-hal tersebut
di atas, masalah penerapan hukum dan persepsi pengadilan terhadap aturan-aturan
hukum internasional tersebut dapat lebih membantu pengadilan dalam memberi
putusan hukumnya yang lebih memenuhi kepentingan dunia usaha.
B. PERMASALAHAN
Penulis melihat adanya 4 (empat)
masalah sentral dalam penyelesaian sengketa di bidang ekonomi dan keuangan.
a. Masalah Penghormatan Terhadap Hukum
Masalah ini adalah sangatlah
sentral. Penaatan atau penghormatan terhadap hukum masih sangat tipis. Penulis melihat
mind-set masyarakat terhadap hukum ini harus diubah secara bertahap,
berhati-hati dan terencana. Telah cukup banyak upaya-upaya akademis atau
pengkajian dilakukan. Diperguruan tinggi atau BPHN, sudah banyak lahir
teori-teori mengenai bagaimana penghormatan terhadap hukum ini perlu dilakukan.
b. Kepastian Hukum
Salah satu hal yang pasti mengenai
hukum di Indonesia
adalah ketidakpastian hukum. Masalah ini gawat, kalau darurat. Kasus-kasus yang
tergolong besar yang melibatkan Indonesia
di forum-forum arbitrase internasional adalah karena tidak adanya kepastian hukum
ini. Sengketa-sengketa yang mendapat sorotan keras masyarakat internasional,
misalnya sengketa Karaha Bodas, antara lain, berawal dari ketidakpastian hukum
ini.
c. Kewenangan dan Putusan Badan Arbitrase
Masalah ini sebenarnya masalah
lama. Tetapi masalah ini masih terus berlanjut, Seakan-akan kontroversi
mengenai masalah ini tiada hentinya. Dalam pernyataannya yang termuat dalam
web-site hukum online, Prof. Priyatna Abdurrasyid mengemukakan bahwa 99 %
(sembilan puluh sembilan persen) hakim di Indonesia tidak memahami arbitrase
(sic!).5
d. Kultur Berperkara Masyarakat
Alm, Prof. Komar Kantaatmadja,
melihat kultur masyarakat ini sebagai masalah cukup krusial dalam penyelesaian
sengketa. Beliau mengemukakan 4 (empat) masalah kultur ini. Dua di antaranya
yang utama adalah keengganan untuk tidak mau melaksanakan putusan arbitrase.
Yang kedua adalah upaya untuk mengulur-ulur waktu sebagai taktik untuk tidak
melaksanakan kewajibannya.6 Penulis pun berpendapat bahwa sengketa-sengketa
mengenai pembatalan putusanputusan arbitrase asing (dan perlawanan terhadap
putusan arbitrase domestik), yang acap timbul belakangan ini, mungkin dapat
dipandang ke dalam cakupan kultur ini .
C. HUKUM YANG MENUNJANG
Sejak bulan Agustus 1999, angin baru
datang ke tanah air. Pada waktu itu, pemerintah mengeluarkan UU No. 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang ini
membawa dua angin segar. Pertama, diletakkannya dasar hukum yang mapan bagi
arbitrase. Kedua, diletakkannya dasar hukum bagi alternatif penyelesaian
sengketa.
Meski cukup banyak kelemahan yang terdapat
dalam UU arbitrase baru, namun demikian aturan-aturan atau prinsip-prinsip
dasar di dalamnya sudahlah termuat.7 Prinsip kekuatan perjanjian arbitrase,
kewenangan pengadilan, kebebasan para pihak, prinsip severabilitas dan
pengaturan pelaksanaan putusan arbitrase sudah termuat di dalamnya.
Satu hal positif dalam UU tersebut adalah
diaturnya ketentuan mengenai ADR (pasal 6). Pasal ini penting, ia meletakkan
dasar hukum yang tegas bagi dimungkinkannya para pihak untuk menyelesaikan
sengketa bisnisnya dengan menggunakan cara-cara yang mereka pilih.
SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar